Berdasarkan data terbaru tentang target EBT Indonesia pada akhir tahun 2023 sebesar 13% (Laman ESDM, IESR; 2024). Informasi yang dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM pada 15 Januari 2024 mencantumkan bahwa terdapat perubahan target persentase untuk Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 17%-19%. Tentunya perubahan target ini menjadi optimisme bagi Indonesia dalam mewujudkan implementasi EBT yang sudah direncanakan. Dalam kurun waktu 1 tahun ini untuk mencapai target EBT 17%-19% memerlukan langkah terintegrasi dari berbagai elemen di Indonesia seperti pemerintah, perusahaan, serta masyarakat.
Mengutip informasi siarn pers Kementerian ESDM pada 15 Januari 2024, menteri ESDM pak Arifin mengungkapkan bahwa “Kementerian ESDM telah menyiapkan beberapa langkah strategis, termasuk pelaksanaan pembangunan EBT sesuai dengan yang telah direncanakan pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), implementasi program Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) yang ditargetkan 3,6 GW di tahun 2025, dan konversi pembangkit diesel ke EBT sesuai target dalam RUPTL. Selain itu, Kementerian ESDM juga terus menjalankan program mandatori biodiesel B35, program co-firing biomassa pada PLTU, penyediaan akses energi modern melalui EBT di lokasi 3T, eksplorasi panas bumi oleh Pemerintah, serta pemanfaatan EBT off grid dan pemanfaatan langsung, program mandatori B35, target tahun 2025 ini sebesar 13,9 juta kiloliter”.
Tentunya dari hal yang digagaskan cukup menarik perhatian, namun hal ini juga perlu diimbangi dengan komitmen dan konsistensi pemerintah, kolaborasi yang masif dengan penyedia layanan tenaga listrik di Indonesia saat ini yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta perluasan jangkauan edukasi dan partisipasi masyarakat. Fokus saya secara pribadi yaitu pada perhatian terhadap aspek dasar yaitu pengetahuan mengenai jejak transisi energi yang sudah berjalan saat ini. Melakukan survey pribadi untuk mengetahui ketercapaian secara kualitatif terhadap jangkauan informasi “pengetahuan dan ketertarikan” pada transisi energi ini, ternyata diperoleh hasil yang masih sangat minim. Hal ini menunjukkan bahwa wawasan masyarakat mengenai isu transisi energi ini masih belum tersebarluaskan. Menurutku pribadi Wawasan masyarakat menjadi fokus utama karena ini akan mampu menjadi faktor pemercepat peningkatan target EBT, karena masyarakat Indonesia telah paham dan merasa telah dilibatkan seutuhnya juga sebagai kontributor transisi energi yang telah direncanakan.
Pernyataan mampu atau tidak, tentunya hal ini kembali kepada langkah yang dilakukan berdasarkan integrasi aspek teknis, aspek eksekusi, serta aspek partisipasi yang semoga mampu menjadi perhatian bersama bagi penulis secara pribadi, pembaca tulisan ini, serta bagi seluruh elemen di Indonesia.