Ilustrasi pertanian cerdas menggunakan aplikasi/Andrey Popov (Getty Images)
Ilustrasi pertanian cerdas menggunakan aplikasi/Andrey Popov (Getty Images)

Perubahan iklim global berdampak besar bagi sektor pertanian. Padahal, sektor ini menjadi penentu ketahanan pangan. Pemanfaatan teknologi informasi dalam pertanian tidak hanya mengatasi masalah pangan, tetapi juga mendorong anak muda untuk mau bekerja di sektor ini. 

KOAKSI INDONESIA — Pembangunan ekonomi Indonesia tidak lepas dari dukungan ketahanan pangan. Pernyataan ini tertulis pada agenda yang disusun oleh pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20202024. Ketahanan pangan penting bagi negara untuk memastikan ketersediaan pangan yang cukup dan akses pangan untuk penduduknya. 

Produksi komoditas yang menunjang ketahanan pangan bersifat fluktuatif karena sangat dipengaruhi oleh iklim. Menurut United States Environmental Protection Agency, perubahan iklim global telah mengubah unsur iklim di antaranya meningkatkan suhu udara dan pergeseran pola curah hujan.  Akibatnya, hasil panen menurun dan gagal panen hingga berujung pada krisis pangan. Hal ini juga telah terjadi di Indonesia. Penelitian Muhammad Luthfi Hidayatullah dan Belinda Ulfa Aulia dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyebutkan bahwa perubahan curah hujan mengakibatkan penurunan produktivitas dan luas panen tanaman padi di Kabupaten Jember.

Ancaman krisis pangan perlu diperhatikan dengan saksama oleh pemangku kebijakan di tengah perubahan iklim global. Carry Fowler, Perwakilan Khusus Amerika Serikat untuk Ketahanan Pangan Global, menuturkan bahwa krisis pangan akan berpotensi terjadi di tahun 2050, yang ditandai oleh kebutuhan global terkait pangan akan meningkat sebesar 5060% seiring dengan pertumbuhan penduduk, namun hasil panen menurun akibat pemanasan global.

Baca juga: Ekowisata Berbasis Pertanian dan Peternakan Pintar guna Mengurangi Dampak Pemanasan Global di Pusat Kota

Teknologi Pertanian untuk Solusi Krisis Pangan

Dalam mengatasi persoalan krisis pangan, peran inovasi dan pemanfaatan teknologi di bidang pertanian perlu dimaksimalkan sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Penggunaan varietas rendah emisi serta pemberian pupuk, benih, dan irigasi pertanian secara tepat dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan efisiensi sehingga meningkatkan produktivitas pertanian. 

Salah satu model pertanian 4.0 yang saat ini banyak diterapkan adalah pertanian presisi atau precision farming. Pertanian presisi adalah strategi manajemen yang mengumpulkan, memproses dan menganalisis data temporal, spasial, dan individual serta menggabungkannya dengan informasi lain untuk mendukung keputusan manajemen sesuai dengan estimasi variabilitas untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, produktivitas, kualitas, keuntungan, dan keberlanjutan produksi pertanian. 

Penerapan pertanian presisi tidak sekadar menerapkan teknologi, data yang terukur diperlukan sebagai kunci utama pertanian yang presisi. Nantinya, teknologi ini dapat digunakan oleh pelaku pertanian untuk menunjang kegiatan budi daya.

Konsep pertanian presisi di Indonesia bukan istilah baru dan keberadaannya sudah ada sejak tahun 2017. Untuk mengembangkan pertanian maju dan modern melalui pertanian presisi, pemerintah Indonesia menyusun Master Plan Pengembangan Pertanian Presisi di tengah berbagai isu ketidakpastian keberlanjutan pangan. Melalui uji coba pertanian presisi di area tanam seluas 5 ha di Puslibtang Diklat Agrinas, Cisaat, Bekasi, Jawa Barat, pemerintah berhasil memanen padi 3–4 kali lebih banyak dibandingkan dengan metode pertanian konvensional. 

Salah satu perusahaan pertanian yang juga menelurkan inovasi pertanian 4.0 adalah BIOPS Agrotekno. Pertanian presisi menjadi konsep utama BIOPS Agrotekno untuk membantu pelaku pertanian meningkatkan hasil panen melalui otomatisasi irigasi dan pemantauan kondisi lingkungan tanaman secara real time

BIOPS Agrotekno menyediakan irigasi pertanian modern yang dapat membantu petani. Teknologi ini meningkatkan efisiensi penyiraman tanaman durian hingga 3 kali lipat daripada penyiraman manual sehingga meningkatkan hasil panen petani durian. 

Selain itu, teknologi yang ditawarkan oleh BIOPS Agrotekno dapat mendukung pertanian berkelanjutan (sustainable farming). Penggunaan irigasi matahari atau solar irrigation, menjadi contoh inovasi teknologi penggunaan pompa air bertenaga surya yang lebih efisien dan ekonomis. Malikul Ikram, Research and Development Director BIOPS Agrotekno mengatakan irigasi matahari dapat mengefisienkan penggunaan air hingga 40% sekaligus memanfaatkan sumber energi terbarukan.

Baca juga: Terkait ISPO, Apa yang Berbeda dari Permentan 11/2015 dengan Perpres 44/2020?

Pertanian 4.0 Membuka Lapangan Pekerjaan

Pertanian presisi perlu melibatkan berbagai macam disiplin ilmu, mulai dari pertanian, teknologi informasi hingga kelistrikan untuk menunjang keberhasilan teknologi. Namun, tidak menutup kemungkinan semua latar belakang pendidikan dapat berkontribusi ke dalam teknologi. Hanya diperlukan keinginan belajar yang tinggi dalam mengembangkan kemampuan baru untuk mengelola dan mengadopsi teknologi. 

Penggunaan teknologi di bidang pertanian mampu menghasilkan lowongan green jobs, seperti praktisi pengindraan jauh, drone pilot, ahli geospasial, dan analis data. Walaupun tidak secara langsung menciptakan lapangan pekerjaan baru, pertanian presisi akan mengubah beberapa pekerjaan konvensional menjadi lebih ramah lingkungan. 

Sebagai contoh, posisi seorang data analyst sebuah perusahaan migas bisa mendapatkan pekerjaan baru di green jobs untuk mengumpulkan dan menganalisis data-data lingkungan dari sensor sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian paling banyak menyerap tenaga kerja. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap akan mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan. Dengan kata lain, pertanian dapat menjadi roda penggerak perekonomian nasional sehingga seharusnya petani merupakan profesi bergengsi yang bisa mensejahterahkan. 

Namun, mengutip dari CNBC Indonesia, survei Jakpat menunjukkan hanya  6 dari 100 generasi Z berusia 15–26 tahun yang ingin bekerja di bidang pertanian. Orang muda enggan menggeluti profesi ini karena tidak ada pengembangan karier bahkan ada anggapan pertanian memberikan penghasilan yang rendah.

Pemanfaatan teknologi digital dalam pertanian seharusnya dapat membuka mata anak muda bahwa bekerja di bidang pertanian dapat menjadi pekerjaan yang sama kerennya dengan bidang-bidang lain dan dapat diandalkan dari sisi pendapatan.  

Keseharian mereka yang sudah akrab dengan teknologi digital membuat mereka cepat menyerap keterampilan ini sehingga tidaklah sulit bagi anak muda untuk menekuni pertanian presisi.

Baca juga: Meningkatkan Ambisi Target Nationally Determined Contribution (NDC) Melalui Percepatan Energi Terbarukan

Masuk dengan Akun Anda

Daftar Akun baru

Register