RUANG AKSI #25: Seberapa Siapkah Pemuda Indonesia Menyambut Ekosistem Green Jobs?
Setelah berlangsung secara online akibat pandemi, acara bulanan Koaksi Indonesia, Ruang Aksi, kembali digelar secara langsung untuk pertama kalinya, dengan tema “Ekosistem Green Jobs di Indonesia: Apakah Kamu Siap?” pada Selasa, 28 November 2023 di Impact Hub Jakarta, Kuningan, Jakarta Selatan.
KOAKSI INDONESIA — Koaksi Indonesia kembali menyelenggarakan ruang diskusi interaktif yang membahas green jobs secara lebih luas dengan harapan mampu memperkuat pemahaman masyarakat tentang pekerjaan hijau. Ruang Aksi edisi ke-25 kali ini memberikan perspektif lebih beragam karena menghadirkan narasumber dari beberapa sektor seperti industri dan startup.
Diskusi menarik ini diawali dengan pembahasan terkait definisi green jobs dari berbagai sektor yang dipantik oleh Retno Sulistyowati, Redaktur Majalah Tempo selaku moderator.
Manajer Komunikasi dan Kampanye Koaksi Indonesia, Lutfi Dananjaya, mengatakan, “Green jobs merupakan semua hal yang berkontribusi kepada lingkungan, seperti aktivitas yang dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan, terlebih pekerjaan tersebut harus layak dan inklusif.” Lutfi menambahkan bahwa menurut penelitian yang dilakukan ILO, negara agraris mampu membuka lapangan pekerjaan hingga 14 juta. Hal ini tentu menjadi peluang besar terutama bagi pemuda Indonesia.
Green jobs memang tidak asing di kalangan industri Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Lishia Erza Budiman, Ketua Komite Pengembangan Kewirausahaan dan Ekonomi Inklusif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Dia mengatakan bahwa konsep green jobs sudah hadir sejak 2008 karena beberapa perjanjian untuk mengatasi krisis iklim.
“Indonesia memiliki lebih dari 24 sektor untuk bertransisi menjadi lebih hijau yang berkontribusi terhadap lingkungan. Demand-nya sudah ada, namun masih fokus pada sektor tertentu,” ujar Lishia.
Senada dengan tren yang terjadi di industri, green jobs secara tidak langsung sudah muncul melalui startup binaan New Energy Nexus Indonesia, sebuah inkubator startup yang berfokus pada clean-tech dan climate-tech. Enda Grimonia, Policy & Advocacy Associate New Energy Nexus Indonesia, mengungkapkan studi bahwa tren startup semakin meningkat di berbagai wilayah Indonesia. “Sebenarnya orang-orang sudah mempunyai awareness untuk bekerja di green jobs dan ingin bekerja di green jobs,” ucap Enda menimpali.
Dalam diskusi terlihat bahwa sudah muncul pemahaman yang berkembang ke arah lebih positif, terutama saat berbicara tentang pengaruh skill dalam green jobs. Menurut Lishia, dalam memenuhi kebutuhan pekerjaan, pengembangan skill lebih lanjut menjadi suatu keharusan. Tentu diperlukan adaptasi dalam upaya upskilling agar sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan.
“Pastinya akan ada perubahan prioritas, Misalnya, dari teknik pertambangan akan berpindah ke lebih ramah lingkungan. Namun, ada skill yang transferable, seperti leadership skill. Jadi mau jurusan apa pun bisa berpindah sesuai dengan permintaan perusahaan,” ujar Lishia.
Pandangan dari pihak startup juga muncul. “Ada banyak skill yang dapat dipindahkan antarsektor, dan mahasiswa dengan latar belakang apa pun memiliki potensi untuk terlibat dalam lapangan kerja hijau yang ditawarkan oleh startup,” tambah Enda.
Tantangan Ekosistem Green Jobs di Indonesia
Diskusi ini pun tak luput dari pembahasan mengenai tantangan dalam membangun ekosistem green jobs yang dihadapi oleh masing-masing pihak. Lutfi menyatakan bahwa tantangan utama dalam menjalankan konsep green jobs adalah sifat inklusivitas yang dapat dipahami dan menyasar pada berbagai kalangan dengan mudah.
“Tantangan saat kampanye green jobs adalah bagaimana membahasakan green jobs menjadi mudah dimengerti oleh masyarakat. Kalau green jobs tidak mudah dikenali oleh masyarakat, maka tidak inklusif lagi,” ujar Lutfi.
Saat ini, Koaksi Indonesia terus mengampanyekan green jobs agar mudah dipahami oleh masyarakat melalui Green Jobs Academy, Green Jobs Class, Green Jobs Workshop, serta melalui Ruang Aksi. Dalam semua kampanyenya, Koaksi Indonesia selalu menyuarakan bahwa green jobs merupakan tren pekerjaan anak muda di masa depan.
“Perbedaan pandangan mengenai kesempatan kerja berbeda pada setiap zaman. Jika sepuluh tahun lalu profesi PNS masih menjadi cita-cita yang dielukan setiap orang. Kini, sepuluh tahun yang akan datang hingga di masa depan, cita-cita pekerjaan di Indonesia adalah green jobs,” tambah Lutfi dengan optimis.
Enda menambahkan bahwa pendidikan memiliki peran penting untuk membentuk ekosistem green jobs yang baik.“ Skill khusus untuk ke green jobs bisa dibahas dari kurikulum pendidikan. Mungkin ada jurusan yang mengarah ke konservasi lingkungan atau pembangkit yang ramah lingkungan,” ujar Enda.
Ragam Pekerjaan Beberapa Sektor yang Berhasil Menjalankan Green Jobs
Dalam diskusi ini pun muncul contoh-contoh startup yang telah menerapkan green jobs. Misalnya, Swap (bagian dari Grab), salah satu binaan Nexus, menciptakan kendaraan listrik bernama Smooth. Swap juga terlibat dalam proyek Suryadaya, yaitu pemasangan panel surya atap di industri untuk memperkuat penerapan energi terbarukan.
Sementara itu, startup yang dinilai menarik oleh Enda adalah Sumba Sustainable Solution (3S), yang memberikan produk peminjaman panel surya kepada masyarakat di Sumba yang belum terjangkau oleh PLN, menciptakan pekerjaan bagi wanita, dan meningkatkan pariwisata di daerah tersebut.
“3S ini berangkat dari permasalahan listrik di Sumba. Kita tahu bahwa Sumba adalah destinasi wisata, tetapi menjadi aneh kalau di destinasi wisata tidak ada listrik. Mereka juga ingin memberdayakan wanita ketika tidak bekerja,” ujar Enda.
Dalam konteks startup lainnya, pembicaraan melibatkan perusahaan seperti eFishery yang menggunakan teknologi untuk memonitor keberadaan ikan dan Aruna yang menggunakan teknologi bersumber listrik energi terbarukan untuk pertanian. Kemudian, ada Flip, startup fintech yang cara kerjanya mendukung penggunaan efisien energi karena tidak ada basis kerja langsung di perusahaan. Contoh lain penerapan green jobs pada sektor pertanian adalah Agradaya, sebuah perusahaan yang berfokus pada pembuatan obat herbal dengan penggunaan energi terbarukan.
Pertanyaan terakhir muncul dari salah satu peserta, Bian, mengenai bagaimana pelaku industri dapat menumbuhkan kesadaran untuk keberlanjutan energi. Pertanyaan ini mendapat jawaban yang mencakup beberapa aspek. Perusahaan diharapkan dapat menggandeng investasi jangka panjang dalam energi terbarukan, tidak hanya untuk keuntungan finansial tetapi juga untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan lingkungan.
“Setiap sektor punya kerangka yang berbeda, dengan pemahaman yang berbeda. Tidak semua perusahaan bergerak cepat. Ada tantangan dari knowledge base atau supply chain-nya yang belum mumpuni. Semakin banyak expert, semakin mempercepat transisi itu,” jawab Lishia melihat dari sudut pandang industri.
Tekanan dari investor dan masyarakat juga dapat memotivasi perusahaan untuk meningkatkan keberlanjutan energi sebagai bagian integral dari tujuan dan operasional bisnis mereka.
“Ada beberapa perusahaan yang headquarter-nya itu dari luar negeri dan ada kebijakan untuk mendukung lingkungan. Bisa saja perusahaan tersebut meminta perusahaan yang ada di negara-negara lain untuk ramah lingkungan,” tambah Enda.
Sebagai pelengkap sekaligus pamungkas akhir sesi diskusi, ketiga narasumber sepakat bahwa sudah saatnya semua anak muda bekerja di green jobs karena kebutuhannya semakin meningkat dan peluang akan terbuka lebar. Belum lagi, kerusakan lingkungan yang nyata dirasakan dapat menjadi pemacu untuk pindah ke green jobs.
“Kerusakan lingkungan sudah terjadi. Sudah seharusnya kita memberikan kesadaran kepada masyarakat dan bekerja untuk lingkungan,” ucap Lutfi sembari menutup diskusi publik Ruang Aksi #25.