Jakarta, Gatra.com – Komitmen Pemerintah Indonesia beralih dari energi kotor ke energi terbarukan, di antaranya tidak lagi membangun PLTU serta mempensiunkan pembangkit tersebut demi mengatasi perubahan iklim merupakan kebijakan positif dan merupakan pekerjaan rumah (PR) besar yang harus diwujudkan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan, kebijakan energi terbarukan dengan porsi lebih besar dari fosil dalam RUPTL 2021–2030 dan pencapaian dekarbonasi pada 2060 menunjukkan perubahan kebijakan paradigma pemerintah.
Menurutnya, kebijakan tersebut menjadi PR besar karena 900 megawatt (MW) kapasitas energi terbarukan masih jauh di bawah target. Pada 2002–2025, Indonesia harus menambah 14 ribu MW untuk mencapai target 23% energi terbarukan.
“Harus nambah 13 ribu MW. Dalam empat tahun ke depan kita harus bisa mengejar itu, kapasitas yang harus dibangun 3 ribuan MW setiap tahun. Ini tantangan,” ujar Fabby kepada wartawan pada pekan ini.
Karena itu, ia meminta pemerintah melengkapi dan memperbaiki kerangka regulasi yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan bisa lebih cepat. Regulasi yang menghambat pengembangan energi terbaurkan harus diganti. Untuk meningkatkan daya tarik investasi, tidak harus melalui pemberian insentif. “Kepastian peraturan itu penting,” ujarnya.
Selanjutnya, lelang energi terbarukan harus jelas setiap tahunnya sehingga investor bisa mengalokasikan rencana investasinya dalam jangka panjang di Indonesia. Selain itu, perlu pengaturan frekuensi dan volume lelang.
Sementara itu, Program Manager Prakarsa, Herni Ramdlaningrum, menyampaikan, transisi energi di Indonesia sudah ada kemajuan walau masih belum cukup effort-nya. Contohnya, sudah ada planning early coal retirement. Arah kebijakan keuangan menuju hijau (green taxonomy/carbon tax). Namun, untuk mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025 masih jauh.
“Sekarang ini masih di sekitar angka 12%. Kalau untuk mengatasi dampak perubahan iklim, Indonesia targetnya masih belum ambisius,” ujarnya.
Padahal, lanjut Herni, berbagai bencana akibat perubahan iklim sudah jelas dan potensi menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar. Apalagi kalau bicara mengenai economic recovery, harusnya potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim sudah masuk pertimbangan untuk diantisipasi serius.
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih melibatkan organisasi masyarakat dalam proses transisi energi sehingga pembuatan kebijakan dapat lebih inklusif dan partisipatif. Koherensi kebijakan lintas sektoral menjadi sangat penting agar transisi energi dapat terkoordinasi antara PLN, Kementeriam ESDM, dan Kementeriam PPN/Bappenas.
Kemudian, pemerintah juga perlu menciptakan ekosistem yang memadai sebelum mengelurkan kebijakan terkait carbon tax dan carbon trading, apalagi dengan harga Rp30 pe kg co2 yang dinilai masih terlalu rendah. Masyarakat juga perlu mendesak pemerintah untuk segera beralih dari penggunaan batu bara jika benar-benar ingin mencapai net zero di 2050.
Sedangkan dari sisi pembiayaan transisi energi, peneliti Prakarsa, Fiona Armintasari, mengatakan, perlu melibatkan berbagai pihak, yakni pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan institusi perbankan.
Saat ini, kata dia, lembaga keuangan internasional mendominasi pembiayaan transisi energi. Padahal peran bank, terutama bank swasta sangat penting dalam mendorong transisi energi, apalagi di Indonesia sekitar 80% aset keuangan dipegang bank swasta.
“Ekosistem keuangan berkelanjutan perlu terus didorong untuk mempercepat transisi energi salah satunya green taxonomy yang saat ini tengah disusun OJK,” katanya.
Menurutnya, green taxonomy nantinya akan memobilisasi pendanaan ke sektor EBT serta sektor lainnya yang mendukung upaya pengendalian perubahan iklim. Sudah ada definisi yang jelas tentang apa saja aktivitas bisnis yang bisa dikategorikan hijau.
“OJK harus memastikan tidak ada peluang greenwashing dengan dibentuknya green taxonomy,” kata Fiona.
Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia, Tiza Mafira, menyampaikan, pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk melakukan transisi energi mikro di rumah tangga. Seperti tariff net metering untuk solar panel yang benar-benar menghasilkan penghematan tagihan listrik, infrastruktur yang mendukung peralihan ke transportasi umum listrik dan kendaraan pribadi listrik, serta insentif untuk memilih produk yang efisien energi.
“Masyarakat bisa menciptakan demand tinggi, tetapi perlu diberi insentif untuk beralih massal ke energi baru dan terbarukan,” kata Tiza.
Untuk mempercepat transisi energi dan penanganan perubahan iklim, tahun 2022 pemerintah harus lebih berani menghilangkan subsidi energi fossil fuel yang menghambat daya saing energi baru dan terbarukan dan menciptakan mekanisme pembatasan karbon yang tidak tanggung-tanggung. Kalau ada sinyal kuat bahwa era fossil fuel sudah selesai, Tiza optimistis investor akan lebih yakin berinvestasi di sektor energi baru dan terbarukan di Indonesia.
Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani, mengatakan, masyarakat dunia memantau proses transisi energi di Indonesia. Maka, target mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga batu bara, serta menambah porsi energi terbarukan secara masif dengan dukungan pada kemudahan investasi dan proses pengadaannya perlu direalisasikan.
“Batu bara dan industrinya harus dibuat jadi mahal dengan dimasukkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari emisi yang tinggi dan dampak ekonomi sosial lingkungan yang mengikuti,” ujarnya.
Verena berpandangan, konsistensi kebijakan transisi energi ini akan meningkatkan akuntabilitas negara dan menjadi atraktif bagi investasi yang mendukung ekonomi hijau, termasuk di dalamnya bantuan internasional.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan arahan jelas kepada jajaran manajemen dan komisaris PLN dan Pertamina untuk melakukan transisi energi dan akan memberikan garansi politik agar tidak terbeban dengan pihak-pihak yang diuntungkan dari bisnis batu bara dan impor minyak.
Menurutnya, justru dengan melihat potensi energi terbarukan yang sangat besar di Indonesia maka skema transisi harus didorong seluasnya agar memberi kesempatan investasi masuk. BUMN harus segera melakukan transformasi bisnis. Ironis kalau Indonesia sampai tertinggal di energi terbarukan apalagi ini adalah pendorong ekonomi yang climate-proof dan dampaknya berlipat ganda bagi Indonesia.
Selain itu, dorongan masyarakat juga dapat dibangun dari potensi penyediaan lapangan kerja yang dihasilkan oleh kebijakan transisi energi. Walaupun transisi energi perlu waktu dan investasi tidak sedikit, namun masyarakat terutama generasi muda dapat mulai menyiapkan diri dengan pendidikan, keahlian, dan keterampilan yang memadai dan dibutuhkan ketika industrinya berkembang.
Hal ini selaras dengan visi Presiden mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang kompetitif di masa depan, tidak hanya untuk kebutuhan pasar di Indonesia tetapi juga di regional dan global. Pada tahun 2019, Bappenas menyatakan bahwa upaya pengurangan emisi Indonesia pada tahun 2030 akan memberikan pertumbuhan PDB rata-rata 6% per tahun hingga 2045, dan menyediakan lebih dari 15 juta pekerjaan baru pada tahun 2045.
Target itu tidak akan tercapai jika hanya berpegang pada kebijakan yang kurang agresif atau business-as-usual karena Indonesia malah berisiko kehilangan 0,5% pertumbuhan PDB per tahun hingga 2030 dan 1% per tahun hingga 2045. Indonesia harus merebut peluang bonus demografi yang saat ini sedang dialami hingga 2045 dengan cara membuka akses pada peningkatan kesempatan meraih pendidikan lebih tinggi dan pekerjaan ramah lingkungan yang memberikan pengupahan secara layak (green jobs).
“Informasi ini harus disebarluaskan kepada publik dan dikembangkan infrastruktur pemungkinnya agar masyarakat memiliki opsi yang lebih baik untuk terlibat dalam upaya dan terjun dalam mendorong agenda pemulihan ekonomi hijau selama pandemi Covid-19 masih berlangsung,” katanya.
Sumber: www.gatra.com
Editor: Iwan Sutiawan