Jakarta, Gatra.com – Sektor energi terbarukan, lingkungan, dan kehutanan diprediksi akan tumbuh pesat dan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kebutuhan sumber daya manusia. Ini didorong komitmen berbagai negara untuk mengatasi perubahan iklim.

CEO Google dan Alphabet, Sundar Pichai, pada tahun lalu sempat menyampaikan bahwa berbagai proyek terkait iklim akan membutuhkan sekitar 20.000 pekerjaan terkait industri dan energi bersih pada tahun 2025 mendatang.

Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, kian memperkuat pandangan Sundar Pichai. Biden meluncurkan rencana anyar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara progresif di AS guna mencegah perubahan iklim. Rencana tersebut membutuhkan jutaan pekera bergaji tinggi.

Pekerjaan tersebut dinamai dengan istilah green job yang artinya kurang lebih pekerjaan yang layak dan berkontribusi pada kelestarian lingkungan atau alam. Pasalnya, green jobs merupakan hasil dari praktik ekonomi hijau (green economy), baik dari sektor tradisional, termasuk manufaktur dan konstruksi, dan bisa juga dari sektor baru, seperti energi terbarukan dan efisiensi energi.

Peneliti dari Coaction Indonesia, Siti Koiromah, dalam keterangan tertulis pada Selasa (4/1), menyampaikan, green job memiliki 5 tujuan, yakni melindungi dan memulihkan ekosistem, meningkatkan efisiensi energi dan bahan baku, meminimalkan limbah dari proses produksi dan polusi yang dihasilkan, membatasi emisi gas rumah kaca, dan mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim.

Menurutnya, green job ini akan semakin booming. Tak hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia. Ada beberapa penyebab yang menjadikan green job tersebut menjadi booming. Pertama, kesadaran masyarakat tentang isu perubahan iklim meningkat.

Ia menyampaikan, kesadaran masyarakat terus meningkat dalam menjaga lingkungan. Peningkatan tersebut didorong tumbuhnya usaha kecil yang juga berkontribusi terhadap lingkungan. Misalnya, usaha yang memanfaatkan limbah, seperti mendaur ulang kemasan sabun menjadi tas atau memproduksi kertas daur ulang.

Koiromah lebih jauh menyampaikan, saat ini semakin banyak perusahaan yang memiliki divisi sustainability. Adanya divisi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan sudah memiliki pandangan ke depan untuk terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan. Dengan adanya divisi sustainability, suatu perusahaan harus patuh terhadap berbagai regulasi terkait keberlanjutan, misalnya proses produksi ataupun bahan baku.

Menurutnya, perusahaan yang menerapkan prinsip keberlanjutan mempunyai nilai plus. Mereka bisa meyakinkan konsumen bahwa operasional perusahaan mereka meminimalkan perusakan terhadap lingkungan.

“Limbah juga menjadi sangat minimal. Bisa jadi akan semakin banyak industri yang akan menerapkan prinsip sustainability seperti itu,” ujarnya.

Meski demikian, Koiromah mengamati bahwa pekerja di industri daur ulang sering kali merupakan orang yang pendidikannya rendah, sehingga penghasilannya belum bisa dibilang layak. Padahal, kontribusinya terhadap lingkungan sangat besar.

Menurutnya, ini tidak linier dengan syarat green job merupakan suatu pekerjaan harus layak secara ekonomi. Artinya, orang tersebut harus mendapatkan penghasilan yang baik agar dapat hidup sejahtera. Misalnya, mendapat asuransi dan tidak bekerja melampaui jam normal. Dengan begitu, ia mendapatkan hak yang sesuai dengan kewajibannya. Coaction Indonesia pun terus mendorong pelaksanaan green job sesuai yang digariskan.

Kedua, green job menebar di banyak bidang. Lantas apakah suatu bidang umum atau profesi seperti tenaga pemasaran, dan bekerja di organisasi yang berfokus di bidang konservasi, apakah pekerjaan kita tergolong green job?

Menurutnya, itu termasuk green job kalau tenaga pemasaran tersebut berusaha memasarkan produk yang memiliki jasa terhadap kelestarian lingkungan, misalnya solar panel. Bisa juga ketika seseorang pada praktiknya menerapkan efisiensi bahan baku, maka pekerjaannya juga termasuk green job.

Ia juga menegaskan, selama memenuhi salah satu tujuan dari green job yang sudah ditetapkan ILO, berarti suatu sektor atau pekerjaan termasuk dalam kategori green job. Ia mencontohkan, cukup banyak perusahaan yang kini mengarah pada sustainable fashion, yang proses produksinya menerapkan prinsip keberlanjutan, misalnya menggunakan katun yang bahan bakunya dari pertanian organik.

“Di dunia kuliner pun tersedia green job. Misalnya, koki yang menggunakan bahan pangan segar secara efisien, menerapkan zero waste, dan memakai bahan organik atau bahan dari lahan pertanian yang berkelanjutan,” ujarnya.

Bahkan, lanjut dia, pekerjaan apa pun bisa diadaptasi menjadi green job. Seorang pendongeng sekalipun bisa masuk kategori green job, kalau materi ceritanya mengandung unsur yang berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan. Misalnya, dia bercerita tentang ibu yang dengan cara-cara unik mengingatkan anaknya agar mematikan lampu ketika tidak digunakan.

Ketiga, terdorong oleh green economy. Ia menyampaikan, kajian dari World Economy Forum: Future of Jobs pada tahun 2016 mengungkap bahwa sektor energi dan berbagai industri di seluruh dunia mulai beralih ke green economy. Hal ini terjadi karena ada isu tentang perubahan iklim dan kekhawatiran dunia akan ketersediaan sumber daya alam.

Menurut Koiromah, green economy berarti aktivitas ekonomi yang tidak mengabaikan lingkungan. Artinya, sebuah perusahaan tidak melakukan praktik ekstraksi yang berlebihan dan selalu mempertimbangkan dampak aktivitasnya terhadap lingkungan dan juga berkontribusi padapertumbuhan ekonomi yang signifikan.

“Implikasinya, tingkat kesejahteraan dalam perusahaan maupun secara makro akan meningkat. Selain itu, ekonomi hijau juga membuka kesempatakan seluruh kalangan termasuk kaum marjinal,” ujarnya.

Ia melanjutkan, saatnya #TimeforActionIndonesia karena melesatnya popularitas mobil listrik sebagai kendaraan yang ramah lingkungan, sejumlah perusahaan raksasa ramai-ramai memproduksi mobil listrik. Tetapi karena harganya cukup tinggi, diperkirakan ke depan akan tumbuh usaha yang mengubah mobil dan motor konvensional menjadi mobil dan motor listrik.

Kondisi tersebut mendorong orang kreatif. Misalnya ada yang membuat teknologi daur ulang baterai lithium-ion untuk digunakan kembali pada motor maupun mobil listrik. Selain itu, ada yang membangun instalasi untuk chargingstation. Usaha seperti ini membuka peluang terciptanya green job di sektor transportasi.

Keempat, terciptanya jenis pekerjaan baru. Coaction Indonesia mencoba menghitung kebutuhan tenaga kerja langsung di energi terbarukan berdasarkan kapasitas terpasang dalam target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Koiromah menguraikan, pada 2030 akan dibutuhkan lebih dari 430 ribu tenaga kerja langsung, yaitu tenaga kerja yang terlibat langsung dalam proses pembangunan pembangkit untuk menghasilkan energi listrik dengan energi terbarukan.

Tenaga kerja tersebut, ungkap dia, antara lain tenaga kerja untuk feasibility study,mendesain pembangkit, teknisi, petugas operation dan maintenance, serta pekerja yang membangun. Dari pembangunan itu, tumbuh juga pekerjaan yang tidak langsung maupun yang terinduksi, seperti sales engineer, analis, legal, dan konsultan.

“Di sektor energi, green job akan semakin booming. Jumlah tenaga kerja yang berkaitan dengan fosil akan menurun. Sebab, banyak perusahaan akan beralih ke energi terbarukan,” ujarnya.

Karena itu, pada 2050 mendatang diperkirakan akan ada lebih dari 1 juta green job yang tercipta dari sektor energi. “Itu merupakan pekerjaan langsung. Belum lagi pekerjaan tidak langsung dan pekerjaan terinduksi yang ter-generate,” katanya.

Ia menjelaskan, nantinya akan ada pekerjaan yang benar-benar hilang, karena industrinya akan lenyap. Contohnya, para tenaga kerja di industri plastik jika sudah benar-benar dilarang. Di samping itu, ketika nanti batubara tak boleh lagi digunakan, pekerjaan yang terkait penambangan batu bara juga akan hilang.

Sebaliknya, akan muncul sederet pekerjaan baru yang tercipta ketika kita memasuki ekonomi hijau. Maka, #MudaMudiBumi bisa ambil bagian dari pekerjaan itu. Misalnya, nantinya pajak karbon akan diterapkan. Artinya, harus ada orang yang bisa menghitungnya. Pekerjaan ini sebelumnya tidak ada. Kesempatan inilah yang bisa dimanfaatkan oleh generasi muda.

Kelima, semua generasi bergerak. Sejumlah riset mengungkap bahwa generasi milenial punya ketertarikan khusus terhadap lingkungan hidup. Karena itu, mereka menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan.

Koiromah melihat, yang terlibat dalam green job tidak hanya generasi milenial. Jajaran direktur perusahaan pembangkit listrik, misalnya, bisa jadi punya ketertarikan terhadap lingkungan atau ketertarikan itu didorong oleh regulasi, misalnya tentang penggunaan energi terbarukan. Secara usia, generasi mereka berada di atas generasi milenial.

Menurut Koiromah, banyak peluang untuk masuk ke green job tanpa melihat generasinya. Yang perlu dilakukan kemudian adalah menambah kapasitas diri. Sama seperti mahasiswa yang baru lulus kuliah. Ketika diterima di satu perusahaan, ia akan diberi berbagai training oleh perusahaan agar memiliki skill yang tepat.

Ketika berpindah ke energi terbarukan, para direktur ini punya pemikiran dan skill yang dibutuhkan. Karena, sebenarnya hard skill untuk pekerjaan konvensional maupun green job akan sama saja. Mereka hanya perlu menambah atau mengasah skill, serta upgrade pengetahuan.

Karena green job berarti melakukan praktik yang memperhatikan kelestarian lingkungan, maka orang yang melakoni pekerjaan itu perlu memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup, antara lain tentang perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, regulasi terkait lingkungan, cara mengurangi limbah, juga sistem daur ulang yang bisa diaplikasikan di perusahaan.

“Akan lebih baik lagi, jika di kantor ia mempraktikkan gaya hidup yang ramah lingkungan. Misalnya, mengurangi penggunaan kertas dan memakai listrik seperlunya saja,” ujarnya.

Adapun Coaction Indonesia, atau dalam bahasa Indonesia adalah Koaksi Indonesia merupakan organisasi nirlaba yang berperan sebagai simpul jejaring dan simpul pembelajaran ide-ide inovatif untuk berkontribusi pada program-program pembangunan berkelanjutan di seluruh wilayah Nusantara.

Koaksi tersebut bekerja sama dengan pembuat kebijakan, sektor swasta, akademisi, organisasi masyarakat sipil, komunitas, dan penggerak muda untuk memberikan solusi dan aksi konkret dalam rangka percepatan pengembangan energi terbarukan yang nantinya akan menjadi pendorong inisiatif perubahan di sektor-sektor lain, seperti transportasi berkelanjutan dan pangan.

Spesifik pada sektor energi terbarukan, Koaksi Indonesia menyasar pada energi berkelanjutan, akses energi yang terjangkau di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dengan bentuk-bentuk intervensi yang inovatif, dan sisi ekonomi energi dan ketahanan energi.

Adapun pendekatan yang dilakukan Koaksi adalah advokasi kebijakan, kampanye untuk mendapatkan dukungan publik, dan pengembangan kolaborasi strategis dengan berbagai mitra.

Sumber: Gatra.com

Masuk dengan Akun Anda

Daftar Akun baru

Register